Selamat datang di blog Budi Kurnia Utama

Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat


A.  Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan Berbasiskan Masyarakat (Community Based Education) intinya adalah bahwa masyarakat yang menentukan kebijakan serta ikut berpartisipasi di dalam menanggung beban pendidikan, bersama seluruh masyarakat setempat, tentang pendidikan yang bermutu bagi anak anak mereka. Dalam pengertian ini, masyarakat tidak semestinya menyerahkan seluruh pendidikan anak-anak mereka kepada sekolah semata-mata, tetapi ikut memikirkan serta bertanggungjawab bersama kalangan pendidikan akan berhasilnya pendidikan anak-anak mereka. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta hubungan yang harmonis di antara pendidikan di rumah dan pendidikan di sekolah serta pendidikan di luar sekolah.
Undang-undang Sisdiknas (UU No 20 tahun 2003) dalam ketentuan umum menyatakan bahwa Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.

B.  Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan Berbasis Masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan kehidupan yang berubah-ubah. Secara konseptual, pendidikan berbasis masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada filosofi “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan memberikan jawaban atas kebutuhan masyarakat, ia muncul karena adanya inisiatif masyarakat sendiri dengan penuh kesadara. Pendidikan oleh masyarakat artinya masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi aktifnya dalam setiap program pendidikan serta bertanggung jawab dengan semangat kemandirian Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka, demi kemajuan kehidupan bersama. Secara singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan oleh masyarakat sendiri.
Menurut Michael W. Galbraith, community-based education could be defined as an educational process by which individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more control over local aspects of their communities through democratic participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari masyarakatnya melalui partisipasi demokratis
Dengan demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan, melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Untuk mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah :
1.     Pembiasaaan atau penyimpangan arah pendidikan dari tujuan pokoknya.
2.     Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran.
3.     Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.


C.  Perspektif Desain Kurikulum Yang Berorientasi Pada Masyarakat
Ada 3 perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada kehidupan masyarakat:
1.    Perspektive status Quo (the status quo perspective), kurikulum merupakan perencanaan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat.
2.    Perspektive reformis (the reformist perspective), Kurikulum dikembangkan untuk lebih meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri, Kurikulum reformis menghendaki peran serta masyarakat secara total dalam proses pendidikan, Harus berperan untuk mengubah tatanan social masyarakat, Menurut pandangan reformis, dalam proses pembangunan pendidika sering digunakan untuk menindas masyarakat miskin untuk kepentingan elit, Pendidikan harus mampu mengubah keadaan masyarakat itu, baik pendidikan formal maupun non formal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde social baru. (Tokoh yang mempelopori adalah Paulo freire dan ivan illich).
3.    Perspektive masa depan (the futulist perspective), merupakan Menekankan kepada proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan social, politik, ekonomi masyarakat. Menurut Harold Rug (1920-1930) siswa harus memahami berbagai macam persoalan dimasyarakat. Tujuan kurikulum dalam perspektif ini mempertemukan siswa dengan masalah masalah yang dihadapi umat manusia.

D.  Prinsip-Prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat
Secara lebih luas Michael W. Galbraith dalam  http://jumatinsus.blogspot.com/2010/03/desain-pembelajaran-berbasis-masyarakat.html menjelaskan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
1.    Self determination (menentukan sendiri);
Semua anggota masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab untuk terlibat dalam menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
2.    Self help (menolong diri sendiri);
Anggota masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkan. Mereka menjadi bagian dari solusi dan membangujn kemandirian lebih baik bukan tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk kesejahteraan mereka sendiri.
3.    Leadership development (pengembangan kepemimpinan);
Para pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai keterampilan untuk memecahkan masalah, membuat keputusan dan proses kelompok sebagai cara untuk menolong diri mereka sendiri secara terus menerus dan sebagai upaya mengembangkan masyarakat.
4.    Localization (lokasi);
Potensi terbesar untuk tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
5.    Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan);
Adanya hubungan antara gengsi diantara masyarakat dan agen-agen yang menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik yang lebih baik.
6.    Reduce duplication of service (mengurangi dupliksi pelayanan);
Masyarakat seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan sumber daya manusia dalam lokalitas mereka dan mengkoordinir usaha mereka tanpa duplikasi pelayanan.
7.    Accept diversity (menerima perbedaan);
Menghindari pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan masyarakat seluas mungkin dituntut dalam pengembangan, perencanaan dan pelaksanaan program, pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
8.    Institutional responsiveness (tanggungjawab kelembagaan);
Pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus menerus adalah sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk melayani masyarakat.
9.    Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup).
Kesempatan pembelajaran formal dan informasi harus tersedia bagi anggota masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang masyarakat.


E.  Syarat-Syarat Pendidikan Berbasis Masyarakat
Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat, setidak-tidaknya mempersyaratkan lima hal, diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Teknologi yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang ada dimasyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang akibatnya tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat menjadi rapuh;
2.    Ada lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam, dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Disini dituntut adanya partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pengadaan, penggunaan, dan pemeliharaan pendidikan luar sekolah;
3.    Program belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar. Oleh karena itu, perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi pasar, bukan berorientasi akademik semata;
4.    Program belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi pemerintah terbukti belum mampu membangkitka partisipasi masyarakat. Yang terjadi hanya pemaksaan program, karena semua program pendidikan dirancang oleh instansi yang bersangkutan; dan
5.    Aparat pendidikan luar sekolah tidak menangani sendiri programnya, namun bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan. Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.

F.   Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat di Indonesia
1.    Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat
Pendidikan Non Formal (PNF) Berbasis Masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Sudah lama PNF tumbuh dan berkembang bahkan tetap eksis sampai sekarang meski istilahnya berbeda. Bentuk PNF yang masih ada dan tetap eksis bahkan menjadi model pendidikan yang cukup trend adalah madrasah dan pesantren. Sedangkan PNF yang sekarang marak di tengah-tengah masyarakat dan tersebar di berbagai wilayah adalah model pusat kegiatan bersama masyarakat (PKBM).
PKBM lahir pada tahun 1998 di tengah krisis sosial dan ekonomi negara kita. PKBM wadah kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi dan budaya. Tujuan dari PKBM yakni memperluas kesempatan warga terutama yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap mental untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah. Dengan filosofi dari, oleh dan untuk masyarakat, PKBM memili 3 bidang kegiatan utama:
a)    Pembelajaran, misal: PAUD, kesetaraan, mental spiritual, ketrampilan seni budaya dan wirausaha.
b)   Usaha Ekonomi produktif dalam bentuk pemberdayaan ekonomi anggota komunitas contohnya unit usaha, Kelompok Belajar Usaha, jaringan maupun lapangan kerja
c)    Pengembangan masyarakat berupa penguatan kapasitas komunitas sebagai kelompok komunal contohnya penguatan sarana prasarana, kosivitas masyarakat, perbaikan dan pengembangan lingkungan dan pengembangan budaya dan bahasa asli. Komponen-komponen PKBM adalah komunitas binaan atau sasaran, warga belajar (yang mau belajar), pendidik/tutor, pengelola, dan mitra.

2.    Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan, khususnya melalui pendidikan non formal, seperti kursus, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Pengajian/ Majlis Ta’lim, siaran pendidikan agama, kejar paket (A, B, dan C), pusat keterampilan, dan sebagainya. Ketentuan ini diatur oleh undang-undang sistem pendidikan. Penyelenggaraan pendidikan non formal mempunyai peranan penting dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia serta melengkapi keberadaan dan fungsi pendidikan formal. Pendidikan non formal menyesuaikan diri dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan dunia usaha/industri. Pendidikan non formal memerlukan pengelolaan atau manajemen yang baik, karena itulah disebut sebagai manajemen berbasis masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan non formal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan memerlukan peran pemerintah dalam beberapa hal, diantaranya adalah :
a)    Perizinan : Izin kursus diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota atas nama bupati/walikota, sebagai bentuk pemberian legalitas atas penyelenggaraan kursus di wilayah kerjanya. Izin kursus berlaku empat tahun dan dapat diperpanjang kembali dengan mengajukan permohonan perpanjangan dengan melampirkan persyaratan-persyaratan yang berlaku. Apabila lembaga yang mengajukan izin pendirian belum memenuhi persyaratan maka pemerintah daerah dapat menerbitkan surat terdaftar hingga lembaga tersebut memenuhi persyaratan untuk jangka waktu paling lama enam bulan.
b)   Kurikulum : Sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2004 telah dibakukan kurikulum nasional dan diujikan secara nasional sebanyak 62 jenis kursus, meskipun ada beberapa jenis kursus yang tidak diujikan lagi secara nasional karena peminatnya sudah berkurang. Seperti bahasa Jepang dan bahasa Belanda. Pengembangan kurikulum kursus dilakukan secara dinamis dengan tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan Mendikbud Nomor 261/U/1999 pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa: (1) Kurikulum pada kursus terdiri atas kurikulum nasional dan kurikulum kursus; (2) Kurikulum berisikan bahan kajian dan pelajaran umum, pokok, dan penunjang yang mengacu pada standard kompetensi tertentu. Selanjutnya ditegaskan lagi dalam PP Nomor 19 tahun 2005 pasal 6 ayat (3) yang menyatakan bahwa : Satuan pendidikan nonformal dalam bentuk kursus dan lembaga pelatihan menggunakan kurikulum berbasis kompetensi yang memuat pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan. Sehubungan dengan hal-hal di atas, pengembangan kurikulum kursus akan terus dilakukan berdasarkan standar kompetensi nasional dan/atau internasional.
c)    Standar Pendidik : Selain standar kompetensi dan standar isi/kurikulum akan dikembangkan juga standar lainnya berdasarkan PP Nomor 19 tahun 2005, termasuk standar pendidik dan tenaga kependidikan. Pasal 33 ayat (1) PP tersebut menyatakan bahwa : Pendidik di lembaga kursus dan lembaga pelatihan keterampilan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan dan pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa : Tenaga kependidikan di lembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan. Standar pendidik PAUD non formal (TPA, KB, SPS) diatur Direktorat Pendidik Dan Tenaga Kependidikan Non Formal.
d)   Standar Kompetensi Lulusan : Direktorat Pembinaan Kursus Dan Pelatihan DITJEN PAUD, Non Formal, dan Informal KEMENDIKNAS membuat standar kompetensi lulusan (tata rias pengantin, tata kecantikan rambut, tata kecantikan kulit, tata busana, spa therapist, musik, merangkai bunga, komputer, jasa usaha makanan, hantaran, ekspor impor, broadcasting, bahasa Jepang untuk hotel, bahasa Inggris, akupuntur, akuntansi)
e)    Juknis (Petunjuk Teknis) : Juknis Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bagi pemuda usia produktif, yang bertujuan untuk mempersiapkan TKI ke luar negeri.
f)    Kebijakan Kesetaraan : Kebijakan kurikulum kesetaraan untuk SD, SMP, dan SMA melalui Keputusan Mendikbud No 0131/U/1994 tentang Program Paket A dan Paket B, Pernyataan Mendiknas pada 22 Juni 2000 tentang pelaksanaan Paket C, Keputusan Mendiknas No 0132/U/2004 tentang Paket C.
g)   Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF) : Dalam rangka melaksanakan kegiatan akreditasi pada pendidikan non formal, PP Republik Indonesia No. 19/2005, pasal 87 menjelaskan, bahwa implementasi akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF). Sedangkan untuk sekolah/madrasah dilakukan oleh Badan Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM) dan untuk program dan/atau satuan pendidikan tinggi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN- PT). Pengangkatan Anggota BAN yang terdiri atas: BAN-PT, BAN-SM dan BAN-PNF berdasarkan SKEP Mendiknas Nomor 064/p/2006 tanggal 25 September 2006. Masa tugas BAN-PNF dipertegas oleh Permendiknas Nomor 30 tahun 2005 tentang Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF), dimana masa bakti anggota dan kepengurusan BAN-PNF ditetapkan selama 5 tahun, dimulai dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Prinsip akreditasi harus dilakukan dengan sistematis dan komprehensif, menyangkut seluruh aspek yang terkait dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan patokan yang jelas, yang dikembangkan dari berbagai sumber/acuan, baik lokal dan nasional, maupun internasional. Akreditasi diperlukan untuk memperoleh gambaran tentang kinerja program dan/atau satuan pendidikan. Hasil akreditasi dipakai untuk menentukan peringkat kualitas program dan/atau satuan pendidikan yang dinilai. Selanjutnya hasil ini juga dapat dipakai bagi pembinaan, pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan secara secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan demikian, setiap satuan dan program pendidikan non formal diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanannya. Bila mungkin hingga mencapai standar kualitas yang bertaraf internasional atau global.
h)   Pengawasan Dan Sanksi : Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan dan kewenangan masing-masing. Penyelenggaran kursus yang beroperasi tanpa izin dapat dikenai pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak 1 milyar rupiah. Bagi lembaga kursus yang menyalahgunakan izin kursus maka dinas pendidikan kabupaten/kota dapat memberi sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau pencabutan izin kursus.

G.  Kendala Pendidikan Berbasis Masyarakat
Sejumlah kendala yang dapat dicatat dalam implementasi pendidikan berbasis masyarakat, yaitu :
1.    Sistem perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut pemerintah. Masih kuatnya sistem perencanaan dari atas (top down), penyeragaman program, penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan program, kurang memberi ruang dan peluang perencanaan dari bawah. Akibatnya, pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk memanipulasi.
2.    Kurangnya kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan kekuatan energi masyarakat untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemaksaan kehendak dan pengarbitan hasil program.
3.    Sikap birokrat, yaitu belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan. Mereka cenderung berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana. Hal ini menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.
4.    Karakteristik kebutuhan belajar masyarakat sangat beraneka ragam, sedangkan sistem perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar. Hal ini meyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan keengganan untuk mengikuti program belajar.
5.    Sikap masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan masih tertuju untuk hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan yang memerlukan waktu dan pengorbanan, sikap masyarakat masih perlu digugah. Hal ini menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti program pendidikan. Mereka sibuk dengan kegiatan mencari nafkah.
6.    Budaya menunggu pada sebagian besar masyarakat kita. Mereka masih memiliki budaya yang statis, merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu, menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan tindakan yang bermanfaat untuk masa depan. Hal ini menyebabkan sulitnya memperkenalkan teknologi baru kepada mereka.
7.    Tokoh panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai panutan sering beperilaku seperti birokrat. Hal ini mengakibatkan masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.
8.    Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih kurang. Hal ini mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis masyarakat.
9.    Anggaran, yaitu keterbatasan dukungan anggaran dan prosedur yang berbelit-belit. Keterbatasan sarana prasarana belajar serta tenaga kependidikan dapat mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program, pendidikan berbasis masyarakat berkurang.
10.    Egoisme sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya masing-masing.

No comments :