A. Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan
Berbasiskan Masyarakat (Community Based Education) intinya adalah bahwa
masyarakat yang menentukan kebijakan serta ikut berpartisipasi di dalam
menanggung beban pendidikan, bersama seluruh masyarakat setempat,
tentang pendidikan yang bermutu bagi anak anak mereka. Dalam pengertian
ini, masyarakat tidak semestinya menyerahkan seluruh pendidikan
anak-anak mereka kepada sekolah semata-mata, tetapi ikut memikirkan
serta bertanggungjawab bersama kalangan pendidikan akan berhasilnya
pendidikan anak-anak mereka. Dengan demikian, diharapkan akan tercipta
hubungan yang harmonis di antara pendidikan di rumah dan pendidikan di
sekolah serta pendidikan di luar sekolah.
Undang-undang
Sisdiknas (UU No 20 tahun 2003) dalam ketentuan umum menyatakan bahwa
Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan
berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk
masyarakat.
B. Konsep Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pendidikan
Berbasis Masyarakat merupakan perwujudan demokratisasi pendidikan
melalui perluasan pelayanan pendidikan untuk kepentingan masyarakat.
Pendidikan berbasis masyarakat menjadi sebuah gerakan penyadaran
masyarakat untuk terus belajar sepanjang hayat dalam mengsi tantangan
kehidupan yang berubah-ubah. Secara konseptual, pendidikan berbasis
masyarakat adalah model penyelenggaraan pendidikan yang bertumpu pada
filosofi “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”.
Pendidikan dari masyarakat artinya pendidikan memberikan jawaban atas
kebutuhan masyarakat, ia muncul karena adanya inisiatif masyarakat
sendiri dengan penuh kesadara. Pendidikan oleh masyarakat artinya
masyarakat ditempatkan sebagai subyek/pelaku pendidikan, bukan objek
pendidikan. Pada konteks ini, masyarakat dituntut peran dan partisipasi
aktifnya dalam setiap program pendidikan serta bertanggung jawab dengan
semangat kemandirian Adapun pengertian pendidikan untuk masyarakat
artinya masyarakat diikutsertakan dalam semua program yang dirancang
untuk menjawab kebutuhan mereka, demi kemajuan kehidupan bersama. Secara
singkat dikatakan, masyarakat perlu diberdayakan, diberi peluang dan
kebebasan untuk merddesain, merencanakan, membiayai, mengelola dan
menilai sendiri apa yang diperlukan secara spesifik di dalam, untuk dan
oleh masyarakat sendiri.
Menurut Michael W. Galbraith, community-based
education could be defined as an educational process by which
individuals (in this case adults) become more corrtpetent in their
skills, attitudes, and concepts in an effort to live in and gain more
control over local aspects of their communities through democratic
participation. Artinya, pendidikan berbasis masvarakat dapat
diartikan sebagai proses pendidikan di mana individu-individu atau orang
dewasa menjadi lebih berkompeten dalam ketrampilan, sikap, dan konsep
mereka dalam upaya untuk hidup dan mengontrol aspek-aspek lokal dari
masyarakatnya melalui partisipasi demokratis
Dengan
demikian, pendekatan pendidikan berbasis masyarakat adalah salah satu
pendekatan yang menganggap masyarakat sebagai agen sekaligus tujuan,
melihat pendidikan sebagai proses dan menganggap masyarakat sebagai
fasilitator yang dapat menyebabkan perubahan menjadi lebih balk. Dari
sini dapat ditarik pemahaman bahwa pendidikan dianggap berbasis
masyarakat jika tanggung jawab perencanaan hingga pelaksanaan berada di
tangan masyarakat. Pendidikan berbasis masyarakat bekerja atas asumsi
bahwa setiap masyarakat secara fitrah telah dibekali potensi untuk
mengatasi masalahnya sendiri. Baik masyarakat kota ataupun desa, mereka
telah memiliki potensi untuk mengatasi masalah mereka sendiri
berdasarkan sumber daya vang mereka miliki serta dengan memobilisasi
aksi bersama untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi.
Untuk
mewujudkan output pendidikan yang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
masyarakat dibutuhkan pendidikan yang bermutu. Apabila kita lihat mutu
pendidikan di negara kita saat ini masih menghadapi beberapa
problematika. Beberapa problem mengenai mutu pendidikan kita seperti yang diungkapkan DR. Arief Rahman dalam Mukhlishah, 2002 adalah :
2. Malproses dan penyempitan simplikatif lingkup proses pendidikan menjadi sebatas pengajaran.
3. Pergeseran fokus pengukuran hasil pembelajaran yang lebih diarahkan pada aspek-aspek intelektual atau derajat kecerdasan nalar.
C. Perspektif Desain Kurikulum Yang Berorientasi Pada Masyarakat
Ada 3 perspektif desain kurikulum yang berorientasi pada kehidupan masyarakat:
1. Perspektive
status Quo (the status quo perspective), kurikulum merupakan
perencanaan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada anak
didik sebagai persiapan menjadi orang dewasa yang dibutuhkan dalam
kehidupan masyarakat.
2. Perspektive
reformis (the reformist perspective), Kurikulum dikembangkan untuk
lebih meningkatkan kualitas masyarakat itu sendiri, Kurikulum reformis
menghendaki peran serta masyarakat secara total dalam proses pendidikan,
Harus berperan untuk mengubah tatanan social masyarakat, Menurut
pandangan reformis, dalam proses pembangunan pendidika sering digunakan
untuk menindas masyarakat miskin untuk kepentingan elit, Pendidikan
harus mampu mengubah keadaan masyarakat itu, baik pendidikan formal
maupun non formal harus mengabdikan diri demi tercapainya orde social
baru. (Tokoh yang mempelopori adalah Paulo freire dan ivan illich).
3. Perspektive
masa depan (the futulist perspective), merupakan Menekankan kepada
proses mengembangkan hubungan antara kurikulum dan kehidupan social,
politik, ekonomi masyarakat. Menurut Harold Rug (1920-1930) siswa
harus memahami berbagai macam persoalan dimasyarakat. Tujuan kurikulum
dalam perspektif ini mempertemukan siswa dengan masalah masalah yang
dihadapi umat manusia.
D. Prinsip-Prinsip Pendidikan Berbasis Masyarakat
Secara lebih luas Michael W. Galbraith dalam http://jumatinsus.blogspot.com/2010/03/desain-pembelajaran-berbasis-masyarakat.html menjelaskan bahwa pendidikan berbasis masyarakat memiliki prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Self determination (menentukan sendiri);
Semua
anggota masyarakat memiliki hak dan tanggungjawab untuk terlibat dalam
menentukan kebutuhan masyarakat dan mengidentifikasi sumber-sumber
masyarakat yang bisa digunakan untuk merumuskan kebutuhan tersebut.
2. Self help (menolong diri sendiri);
Anggota
masyarakat dilayani dengan baik ketika kemampuan mereka untuk menolong
diri mereka sendiri telah didorong dan dikembangkan. Mereka menjadi
bagian dari solusi dan membangujn kemandirian lebih baik bukan
tergantung karena mereka beranggapan bahwa tanggung jawab adalah untuk
kesejahteraan mereka sendiri.
3. Leadership development (pengembangan kepemimpinan);
Para
pemimpin lokal harus dilatih dalam berbagai keterampilan untuk
memecahkan masalah, membuat keputusan dan proses kelompok sebagai cara
untuk menolong diri mereka sendiri secara terus menerus dan sebagai
upaya mengembangkan masyarakat.
4. Localization (lokasi);
Potensi
terbesar untuk tingkat partisipasi masyarakat tinggi terjadi ketika
masyarakat diberi kesempatan dalam pelayanan, program dan kesempatan
terlibat dekat dengan kehidupan tempat masyarakat hidup.
5. Integrated delivery of service (keterpaduan pemberian pelayanan);
Adanya
hubungan antara gengsi diantara masyarakat dan agen-agen yang
menjalankan pelayanan publik dalam memenuhi tujuan dan pelayanan publik
yang lebih baik.
6. Reduce duplication of service (mengurangi dupliksi pelayanan);
Masyarakat
seharusnya memanfaatkan secara penuh sumber-sumber fisik, keuangan dan
sumber daya manusia dalam lokalitas mereka dan mengkoordinir usaha
mereka tanpa duplikasi pelayanan.
7. Accept diversity (menerima perbedaan);
Menghindari
pemisahan masyarakat berdasarkan usia, pendapatan, kelas sosial, jenis
kelamin, ras, etnis, agama atau keadaan yang menghalangi pengembangan
masyarakat seluas mungkin dituntut dalam pengembangan, perencanaan dan
pelaksanaan program, pelayanan dan aktifitas-aktifitas kemasyarakatan.
8. Institutional responsiveness (tanggungjawab kelembagaan);
Pelayanan
terhadap kebutuhan masyarakat yang berubah secara terus menerus adalah
sebuah kewajiban dari lembaga publik sejak mereka terbentuk untuk
melayani masyarakat.
9. Lifelong learning (pembelajaran seumur hidup).
Kesempatan
pembelajaran formal dan informasi harus tersedia bagi anggota
masyarakat untuk semua umur dalam berbagai jenis latar belakang
masyarakat.
E. Syarat-Syarat Pendidikan Berbasis Masyarakat
Untuk melaksanakan paradigma pendidikan berbasis masyarakat, setidak-tidaknya mempersyaratkan lima hal, diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Teknologi
yang digunakan hendaknya sesuai dengan kondisi dan situasi nyata yang
ada dimasyarakat. Teknologi yang canggih yang diperkenalkan dan
adakalanya dipaksakan sering berubah menjadi pengarbitan masyarakat yang
akibatnya tidak digunakan sebab kehadiran teknologi ini bukan karena
dibutuhkan, melainkan karena dipaksakan. Hal ini membuat masyarakat
menjadi rapuh;
2. Ada
lembaga atau wadah yang statusnya jelas dimiliki atau dipinjam,
dikelola, dan dikembangkan oleh masyarakat. Disini dituntut adanya
partisipasi masyarakat dalam perencanaan, pengadaan, penggunaan, dan
pemeliharaan pendidikan luar sekolah;
3. Program
belajar yang akan dilakukan harus bernilai sosial atau harus bermakna
bagi kehidupan peserta didik atau warga belajar. Oleh karena itu,
perancangannya harus didasarkan pada potensi lingkungan dan berorientasi
pasar, bukan berorientasi akademik semata;
4. Program
belajar harus menjadi milik masyarakat, bukan milik instansi
pemerintah. Hal ini perlu ditekankan karena bercermin pada pengalaman
selama ini bahwa lembaga pendidikan yang dimiliki oleh instansi
pemerintah terbukti belum mampu membangkitka partisipasi masyarakat.
Yang terjadi hanya pemaksaan program, karena semua program pendidikan
dirancang oleh instansi yang bersangkutan; dan
5. Aparat
pendidikan luar sekolah tidak menangani sendiri programnya, namun
bermitra dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan.
Organisasi-organisasi kemasyarakatan ini yang menjadi pelaksana dan
mitra masyarakat dalam memenuhi kebutuhan belajar mereka dan dalam
berhubungan dengan sumber-sumber pendukung program.
F. Implementasi Pendidikan Berbasis Masyarakat di Indonesia
1. Pendidikan Nonformal Berbasis Masyarakat
Pendidikan
Non Formal (PNF) Berbasis Masyarakat sebenarnya bukan merupakan hal
yang baru. Sudah lama PNF tumbuh dan berkembang bahkan tetap eksis
sampai sekarang meski istilahnya berbeda. Bentuk PNF yang masih ada dan
tetap eksis bahkan menjadi model pendidikan yang cukup trend adalah
madrasah dan pesantren. Sedangkan PNF yang sekarang marak di
tengah-tengah masyarakat dan tersebar di berbagai wilayah adalah model
pusat kegiatan bersama masyarakat (PKBM).
PKBM
lahir pada tahun 1998 di tengah krisis sosial dan ekonomi negara kita.
PKBM wadah kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada
pemberdayaan potensi untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial,
ekonomi dan budaya. Tujuan dari PKBM yakni memperluas kesempatan warga
terutama yang tidak mampu untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan
dan sikap mental untuk mengembangkan diri dan bekerja mencari nafkah.
Dengan filosofi dari, oleh dan untuk masyarakat, PKBM memili 3 bidang
kegiatan utama:
a) Pembelajaran, misal: PAUD, kesetaraan, mental spiritual, ketrampilan seni budaya dan wirausaha.
b) Usaha
Ekonomi produktif dalam bentuk pemberdayaan ekonomi anggota komunitas
contohnya unit usaha, Kelompok Belajar Usaha, jaringan maupun lapangan
kerja
c) Pengembangan
masyarakat berupa penguatan kapasitas komunitas sebagai kelompok
komunal contohnya penguatan sarana prasarana, kosivitas masyarakat,
perbaikan dan pengembangan lingkungan dan pengembangan budaya dan bahasa
asli. Komponen-komponen
PKBM adalah komunitas binaan atau sasaran, warga belajar (yang mau
belajar), pendidik/tutor, pengelola, dan mitra.
2. Peran Pemerintah Dalam Pendidikan Berbasis Masyarakat
Masyarakat memiliki kesempatan yang seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan,
khususnya melalui pendidikan non formal, seperti kursus, Pusat Kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM), Pengajian/ Majlis Ta’lim, siaran pendidikan
agama, kejar paket (A, B, dan C), pusat keterampilan, dan sebagainya.
Ketentuan ini diatur oleh undang-undang sistem pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan non formal mempunyai peranan penting dalam
peningkatan kualitas sumber daya manusia serta melengkapi keberadaan dan
fungsi pendidikan formal. Pendidikan non formal menyesuaikan diri
dengan kebutuhan masyarakat dan tuntutan dunia usaha/industri.
Pendidikan non formal memerlukan pengelolaan atau manajemen yang baik,
karena itulah disebut sebagai manajemen berbasis masyarakat. Oleh karena
itu, pendidikan non formal harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat dan memerlukan peran pemerintah dalam beberapa hal,
diantaranya adalah :
a) Perizinan
: Izin kursus diterbitkan oleh Bupati/Walikota atau Kepala Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota atas nama bupati/walikota, sebagai bentuk
pemberian legalitas atas penyelenggaraan kursus di wilayah kerjanya.
Izin kursus berlaku empat tahun dan dapat diperpanjang kembali dengan
mengajukan permohonan perpanjangan dengan melampirkan
persyaratan-persyaratan yang berlaku. Apabila lembaga yang mengajukan
izin pendirian belum memenuhi persyaratan maka pemerintah daerah dapat
menerbitkan surat terdaftar hingga lembaga tersebut memenuhi persyaratan
untuk jangka waktu paling lama enam bulan.
b) Kurikulum
: Sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 2004 telah dibakukan kurikulum
nasional dan diujikan secara nasional sebanyak 62 jenis kursus, meskipun
ada beberapa jenis kursus yang tidak diujikan lagi secara nasional
karena peminatnya sudah berkurang. Seperti bahasa Jepang dan bahasa
Belanda. Pengembangan kurikulum kursus dilakukan secara dinamis dengan
tetap mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Keputusan Mendikbud Nomor 261/U/1999 pasal 8 ayat (1) dan (2) menyatakan
bahwa: (1) Kurikulum pada kursus terdiri atas kurikulum nasional dan
kurikulum kursus; (2) Kurikulum berisikan bahan kajian dan pelajaran
umum, pokok, dan penunjang yang mengacu pada standard kompetensi
tertentu. Selanjutnya ditegaskan lagi dalam PP Nomor 19 tahun 2005 pasal
6 ayat (3) yang menyatakan bahwa : Satuan pendidikan nonformal dalam
bentuk kursus dan lembaga pelatihan menggunakan kurikulum berbasis
kompetensi yang memuat pendidikan kecakapan hidup dan keterampilan.
Sehubungan dengan hal-hal di atas, pengembangan kurikulum kursus akan
terus dilakukan berdasarkan standar kompetensi nasional dan/atau
internasional.
c) Standar
Pendidik : Selain standar kompetensi dan standar isi/kurikulum akan
dikembangkan juga standar lainnya berdasarkan PP Nomor 19 tahun 2005,
termasuk standar pendidik dan tenaga kependidikan. Pasal 33 ayat (1) PP
tersebut menyatakan bahwa : Pendidik di lembaga kursus dan lembaga
pelatihan keterampilan harus memiliki kualifikasi dan kompetensi minimum
yang dipersyaratkan dan pasal 37 ayat (1) menyatakan bahwa : Tenaga
kependidikan di lembaga kursus dan pelatihan harus memiliki kualifikasi
dan kompetensi minimum yang dipersyaratkan. Standar pendidik PAUD non
formal (TPA, KB, SPS) diatur Direktorat Pendidik Dan Tenaga Kependidikan
Non Formal.
d) Standar
Kompetensi Lulusan : Direktorat Pembinaan Kursus Dan Pelatihan DITJEN
PAUD, Non Formal, dan Informal KEMENDIKNAS membuat standar kompetensi
lulusan (tata rias pengantin, tata kecantikan rambut, tata kecantikan
kulit, tata busana, spa therapist, musik, merangkai bunga, komputer,
jasa usaha makanan, hantaran, ekspor impor, broadcasting, bahasa Jepang
untuk hotel, bahasa Inggris, akupuntur, akuntansi)
e) Juknis
(Petunjuk Teknis) : Juknis Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) bagi pemuda
usia produktif, yang bertujuan untuk mempersiapkan TKI ke luar negeri.
f) Kebijakan
Kesetaraan : Kebijakan kurikulum kesetaraan untuk SD, SMP, dan SMA
melalui Keputusan Mendikbud No 0131/U/1994 tentang Program Paket A dan
Paket B, Pernyataan Mendiknas pada 22 Juni 2000 tentang pelaksanaan
Paket C, Keputusan Mendiknas No 0132/U/2004 tentang Paket C.
g) Badan
Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN PNF) : Dalam rangka
melaksanakan kegiatan akreditasi pada pendidikan non formal, PP Republik
Indonesia No. 19/2005, pasal 87 menjelaskan, bahwa implementasi
akreditasi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Non
Formal (BAN-PNF). Sedangkan untuk sekolah/madrasah dilakukan oleh Badan
Akreditasi Nasional Sekolah dan Madrasah (BAN-SM) dan untuk program
dan/atau satuan pendidikan tinggi dilaksanakan oleh Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi (BAN- PT). Pengangkatan Anggota BAN yang
terdiri atas: BAN-PT, BAN-SM dan BAN-PNF berdasarkan SKEP Mendiknas
Nomor 064/p/2006 tanggal 25 September 2006. Masa tugas BAN-PNF
dipertegas oleh Permendiknas Nomor 30 tahun 2005 tentang Badan
Akreditasi Nasional Pendidikan Non Formal (BAN-PNF), dimana masa bakti
anggota dan kepengurusan BAN-PNF ditetapkan selama 5 tahun, dimulai dari
tahun 2006 sampai dengan tahun 2011. Prinsip akreditasi harus dilakukan
dengan sistematis dan komprehensif, menyangkut seluruh aspek yang
terkait dengan standar yang telah ditetapkan. Untuk itu, diperlukan
patokan yang jelas, yang dikembangkan dari berbagai sumber/acuan, baik
lokal dan nasional, maupun internasional. Akreditasi diperlukan untuk
memperoleh gambaran tentang kinerja program dan/atau satuan pendidikan.
Hasil akreditasi dipakai untuk menentukan peringkat kualitas program
dan/atau satuan pendidikan yang dinilai. Selanjutnya hasil ini juga
dapat dipakai bagi pembinaan, pengembangan dan peningkatan kualitas
pendidikan secara secara bertahap dan berkesinambungan. Dengan demikian,
setiap satuan dan program pendidikan non formal diharapkan dapat
meningkatkan kualitas pelayanannya. Bila mungkin hingga mencapai standar
kualitas yang bertaraf internasional atau global.
h) Pengawasan
Dan Sanksi : Pemerintah, pemerintah daerah, dewan pendidikan melakukan
pengawasan atas penyelenggaraan pendidikan pada semua jenjang dan jenis
pendidikan dan kewenangan masing-masing. Penyelenggaran kursus yang
beroperasi tanpa izin dapat dikenai pidana penjara paling lama 10 tahun
dan/atau pidana denda paling banyak 1 milyar rupiah. Bagi lembaga kursus
yang menyalahgunakan izin kursus maka dinas pendidikan kabupaten/kota
dapat memberi sanksi berupa teguran lisan, teguran tertulis, atau
pencabutan izin kursus.
G. Kendala Pendidikan Berbasis Masyarakat
Sejumlah kendala yang dapat dicatat dalam implementasi pendidikan berbasis masyarakat, yaitu :
1. Sistem
perencanaan, penganggaran, dan pertanggungjawaban keuangan yang dianut
pemerintah. Masih kuatnya sistem perencanaan dari atas (top down),
penyeragaman program, penyeragaman sistem dan mekanisme pelaksanaan
program, kurang memberi ruang dan peluang perencanaan dari bawah.
Akibatnya, pertanggungjawaban keuangan tidak mengacu kepada hasil
melainkan hanya kepada kelengkapan administrasi. Hal ini benar-benar
mematikan kreativitas di lapangan dan membuka peluang untuk
memanipulasi.
2. Kurangnya
kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan kekuatan energi masyarakat
untuk mengambil peran dalam melaksanakan program pembangunan yang
dibutuhkan oleh masyarakat. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemaksaan
kehendak dan pengarbitan hasil program.
3. Sikap
birokrat, yaitu belum mampu membiasakan diri bertindak sebagai pelayan.
Mereka cenderung berperilaku sebagai penentu yang selalu ingin
dihormati dan berkuasa karena mereka merasa memiliki dana. Hal ini
menyebabkan timbulnya sikap apatis pada masyarakat dan menurunkan
keinginan masyarakat untuk berpartisipasi.
4. Karakteristik
kebutuhan belajar masyarakat sangat beraneka ragam, sedangkan sistem
perencanaan yang dianut masih turun dari atas dan bersifat standar. Hal
ini meyebabkan gairah belajar masyarakat berkurang dan menimbulkan
keengganan untuk mengikuti program belajar.
5. Sikap
masyarakat dan juga pola pikir masyarakat dalam memenuhi kebutuhan
masih tertuju untuk hal-hal yang berkaitan dengan pendidikan yang
memerlukan waktu dan pengorbanan, sikap masyarakat masih perlu digugah.
Hal ini menyebabkan banyak anak yang tidak berkesempatan mengikuti
program pendidikan. Mereka sibuk dengan kegiatan mencari nafkah.
6. Budaya
menunggu pada sebagian besar masyarakat kita. Mereka masih memiliki
budaya yang statis, merasa puas dengan apa yang ada, bersifat menunggu,
menerima, dan kurang proaktif untuk mengambil prakarsa serta melakukan
tindakan yang bermanfaat untuk masa depan. Hal ini menyebabkan sulitnya
memperkenalkan teknologi baru kepada mereka.
7. Tokoh
panutan, yaitu tokoh-tokoh masyarakat yang seyogyanya berperan sebagai
panutan sering beperilaku seperti birokrat. Hal ini mengakibatkan
masyarakat pendidikan enggan untuk mengoptimalkan peran masyarakat, baik
dalam perencanaan maupun pelaksanaan program.
8. Lembaga
Sosial Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang pendidikan masih
kurang. Hal ini mengakibatkan kelambatan dalam usaha menggerakkan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan pendidikan berbasis
masyarakat.
9. Anggaran,
yaitu keterbatasan dukungan anggaran dan prosedur yang berbelit-belit.
Keterbatasan sarana prasarana belajar serta tenaga kependidikan dapat
mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap program, pendidikan
berbasis masyarakat berkurang.
10. Egoisme
sektoral, yaitu masih ada keraguan di antara prosedur yang berbeda
tentang kedudukan masyarakat dalam institusi pendidikan berkaitan dengan
pendidikan berbasis masyarakat yang masih menonjolkan karakteristiknya
masing-masing.
No comments :
Post a Comment